Kamis, 02 Januari 2020

2020, Floody Jakarta


        31 Desember 2019, dianggap sakral bagi sebagian besar warga dunia, wa bil khusus Indonesia. Di tanggal ini banyak yang sudah rehat dengan aktivitas yang menyibukkan, berlibur dengan keluarga ke tempat wisata idaman, atau hanya sekadar menikmati hari-hari dengan rebahan. Ada juga di sisi lain, masyarakat-masyarakat yang tetap sibuk, bahkan semakin sibuk menjelang penghujung tahun, hanya bisa tersenyum kecut dan iri melihat instastory masyarakat lain yang sudah rehat tempelkan jari di mesin absensi. 


        Beberapa juga ada yang hanya bekerja setengah hari, demi menyiapkan diri bermalam tahun baru bersama keluarga dan sanak famili, atau merayakannya dengan pesta kembang api, bakar-bakar jagung, sate ayam bahkan sate kelinci. Ya, demi sebuah perayaan sakral, pergantian tahun masehi.

       Tidak salah, sekaligus tidak sepenuhnya benar. Karena hakikatnya tahun baru adalah ajang refleksi diri, menyesali yang telah lalu, dan berencana pada yang akan datang. Dan selalu seperti itu, setiap tahun. Ingat, SETIAP TAHUN.

         Anyway, gw mau tell a story soal tanggal itu. Di hari sebelumnya, gw dan beberapa temen udah ada rencana mau bikin acara di malam tahun baru. Sederhana sih, cuman sekadar menikmati jagung bakar di bawah dentuman langit yang penuh petasan jutaan, that’s it. Tapi karena ada satu dan lain hal, like ada beberapa temen yang ga bisa, akhirnya rencana tersebut batal. Di sisi lain ada temen yang lain yang ngajak buat nonton konser ke BSD -_- yang notabene jaraknya lumayan jauh dari tempat gw. Langsung gw bilang kalo gw udah males akhir-akhir ini nonton konser terlebih lagi karena jaraknya jauh. Akhirnya gw memutuskan untuk gegoleran di kasur kos idaman sambil scrolling instagram dan twitteran, sambil dengerin coveran lagu dari penyanyi kesayangan. Terkesan tidak bermanfaat, tapi apa boleh buat, itulah malam tahun baru dengan langit paling kelabu menurutku.

       Pukul 23.59 WIB, 60 detik menjelang bergantinya tahun babi tanah menjadi tikus logam, terdengar dari luar sayup-sayup dentuman petasan disambut gelegar halilintar beserta derasnya air hujan. Di beberapa tempat di Jakarta, hujan bahkan sudah turun sejak matahari hilang di ufuk barat. Gw ngga tau reaksi penduduk Jakarta penikmat petasan kala itu, apakah berhamburan pergi masuk ke rumah atau rela berbasah demi pemandangan indah setahun sekali itu. Dan ada satu hal yang tidak mereka tau…

       Di hari sebelumnya, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah memprediksi akan ada hujan yang mengguyur DKI Jakarta dan sekitarnya pada malam tahun baru hingga esoknya dengan intensitas yang cukup tinggi. BMKG juga telah mengimbau masyarakat di wilayah Jabodetabek untuk waspada akan terjadinya banjir. Mungkin imbauan ini tidak begitu diperhatikan oleh sebagian besar masyarakat  Jakarta dan sekitarnya, terlebih lagi, di 2019 pun memang belum pernah terjadi hujan dengan intensitas tinggi sampai banjir yang begitu parah, sehingga awareness dari masyarakat kurang tertanam.

        Balik lagi ke cerita, gw tidur jam 2 dalam keadaan hujan deras disertai (atta) halilintar dan bangun setengah 5 juga dalam keadaan yang sama. Gw tidur lagi dan bangun jam 10, juga dalam keadaan yang sama. Disitulah gw mulai mikir; “apa mungkin ya kosan gw kebanjiran?” mengingat daerah Kalibata yang secara strategis cukup tinggi daratannya. 

           Iseng-iseng gw buka instagram dan twitter dan benar saja, hal yang gw takutkan terjadi.
         
         Linimasa teratas berisi update daerah-daerah yang terdampak banjir, mulai dari kawasan elit seperti Kemang dan Sudirman, daerah pinggiran Jakarta macam Ciledug, Pondokgede, Cinere, dan masih banyak lagi yang ga bisa gw sebut. Hampir sekitar 80% wilayah Jabodetabek terendam banjir. Mulai dari setinggi mata kaki, betis, paha, perut, leher, hingga setinggi tempat tinggal masing-masing.

           Satu hal yang sama sekali tidak kita sadari, bahwa ketika beberapa jam sebelumnya kita masih bersuka cita dengan kemeriahaan malam tahun baru dengan segala pernik petasan indah dan perayaan-perayaan lainnya. Kita seakan dibuat lupa oleh kenyataan bahwa atas kehendak siapa kita bisa melewati 2019 yang penuh lika-liku. Atas kehendak siapa kita masih bisa menghirup nafas di tahun baru. Atas kehendak siapa pula, kita diberi keleluasaan dan keluasan rezeki dari segala penjuru.

          Gw nggak mau pembaca menganggap tulisan ini agak konservatif. Gw berusaha berada di jalur tengah..

        Bahwa sebenarnya hujan bukanlah penyebab banjir. Bahwa sebenernya banjir bukan sepenuhnya salah si pemimpin. Dan bahwa sebenarnya kita tak boleh saling tunjuk akan siapa yang paling bertanggung jawab terhadap musibah ini.

       Mari kita rendahkan diri kita serendah-rendahnya. Mari kita tunjuk diri kita sendiri. Jangan-jangan memang kita lah penyebab nya. Jangan-jangan karena tangan kita lah, sampah-sampah menjadi penyumbat aliran sungai. Jangan-jangan karena mulut kita lah, framing negatif si pemimpin terbentuk. Jangan-jangan karena jari kita lah, komentar-komentar di medsos yang membangun aura negatif semakin menjadi-jadi. 


            Selamat Tahun Baru 2020, floody Jakarta…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar