31 Desember 2019, dianggap sakral
bagi sebagian besar warga dunia, wa bil khusus Indonesia. Di tanggal ini
banyak yang sudah rehat dengan aktivitas yang menyibukkan, berlibur dengan
keluarga ke tempat wisata idaman, atau hanya sekadar menikmati hari-hari dengan
rebahan. Ada juga di sisi lain, masyarakat-masyarakat yang tetap sibuk, bahkan
semakin sibuk menjelang penghujung tahun, hanya bisa tersenyum kecut dan iri
melihat instastory masyarakat lain yang sudah rehat tempelkan jari di
mesin absensi.
Beberapa
juga ada yang hanya bekerja setengah hari, demi menyiapkan diri bermalam tahun
baru bersama keluarga dan sanak famili, atau merayakannya dengan pesta kembang
api, bakar-bakar jagung, sate ayam bahkan sate kelinci. Ya, demi sebuah
perayaan sakral, pergantian tahun masehi.
Tidak
salah, sekaligus tidak sepenuhnya benar. Karena hakikatnya tahun baru adalah
ajang refleksi diri, menyesali yang telah lalu, dan berencana pada yang akan
datang. Dan selalu seperti itu, setiap tahun. Ingat, SETIAP TAHUN.
Anyway,
gw mau tell a story soal tanggal itu. Di hari sebelumnya, gw dan
beberapa temen udah ada rencana mau bikin acara di malam tahun baru. Sederhana
sih, cuman sekadar menikmati jagung bakar di bawah dentuman langit yang penuh
petasan jutaan, that’s it. Tapi karena ada satu dan lain hal, like
ada beberapa temen yang ga bisa, akhirnya rencana tersebut batal. Di
sisi lain ada temen yang lain yang ngajak buat nonton konser ke BSD -_- yang
notabene jaraknya lumayan jauh dari tempat gw. Langsung gw bilang
kalo gw udah males akhir-akhir ini nonton konser terlebih lagi karena
jaraknya jauh. Akhirnya gw memutuskan untuk gegoleran di kasur kos
idaman sambil scrolling instagram dan twitteran, sambil dengerin coveran
lagu dari penyanyi kesayangan. Terkesan tidak bermanfaat, tapi apa boleh buat,
itulah malam tahun baru dengan langit paling kelabu menurutku.
Pukul
23.59 WIB, 60 detik menjelang bergantinya tahun babi tanah menjadi tikus logam,
terdengar dari luar sayup-sayup dentuman petasan disambut gelegar halilintar
beserta derasnya air hujan. Di beberapa tempat di Jakarta, hujan bahkan sudah turun
sejak matahari hilang di ufuk barat. Gw ngga tau reaksi penduduk Jakarta
penikmat petasan kala itu, apakah berhamburan pergi masuk ke rumah atau rela
berbasah demi pemandangan indah setahun sekali itu. Dan ada satu hal yang tidak
mereka tau…
Di
hari sebelumnya, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah
memprediksi akan ada hujan yang mengguyur DKI Jakarta dan sekitarnya pada malam
tahun baru hingga esoknya dengan intensitas yang cukup tinggi. BMKG juga telah
mengimbau masyarakat di wilayah Jabodetabek untuk waspada akan terjadinya banjir.
Mungkin imbauan ini tidak begitu diperhatikan oleh sebagian besar
masyarakat Jakarta dan sekitarnya,
terlebih lagi, di 2019 pun memang belum pernah terjadi hujan dengan intensitas
tinggi sampai banjir yang begitu parah, sehingga awareness dari masyarakat
kurang tertanam.
Balik
lagi ke cerita, gw tidur jam 2 dalam keadaan hujan deras disertai (atta)
halilintar dan bangun setengah 5 juga dalam keadaan yang sama. Gw tidur
lagi dan bangun jam 10, juga dalam keadaan yang sama. Disitulah gw mulai
mikir; “apa mungkin ya kosan gw kebanjiran?” mengingat daerah Kalibata
yang secara strategis cukup tinggi daratannya.
Iseng-iseng
gw buka instagram dan twitter dan benar saja, hal yang gw
takutkan terjadi.
Linimasa
teratas berisi update daerah-daerah yang terdampak banjir, mulai dari kawasan
elit seperti Kemang dan Sudirman, daerah pinggiran Jakarta macam Ciledug, Pondokgede,
Cinere, dan masih banyak lagi yang ga bisa gw sebut. Hampir sekitar
80% wilayah Jabodetabek terendam banjir. Mulai dari setinggi mata kaki, betis,
paha, perut, leher, hingga setinggi tempat tinggal masing-masing.
Gw
nggak mau pembaca menganggap tulisan ini agak konservatif. Gw berusaha
berada di jalur tengah..
Bahwa
sebenarnya hujan bukanlah penyebab banjir. Bahwa sebenernya banjir bukan sepenuhnya
salah si pemimpin. Dan bahwa sebenarnya kita tak boleh saling tunjuk akan siapa
yang paling bertanggung jawab terhadap musibah ini.
Mari
kita rendahkan diri kita serendah-rendahnya. Mari kita tunjuk diri kita sendiri.
Jangan-jangan memang kita lah penyebab nya. Jangan-jangan karena tangan kita
lah, sampah-sampah menjadi penyumbat aliran sungai. Jangan-jangan karena mulut
kita lah, framing negatif si pemimpin terbentuk. Jangan-jangan karena
jari kita lah, komentar-komentar di medsos yang membangun aura negatif semakin
menjadi-jadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar